Indahnya Sastra

Minggu, 30 Januari 2011

MAMPUKAH KITA MENCINTAI TANPA SYARAT?



Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia
yang sudah senja bahkan sudah mendekati malam,
Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan
merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. mereka
menikah sudah lebih 32 tahun Mereka dikarunia 4 orang anak
di sinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak
ke empat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan
itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ketiga seluruh
tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang
lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran,
menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur.
Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV
supaya istrinya tidak merasa kesepian.
Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya
tersenyum, untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu
jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk
menyuapi istrinya makan siang. Sorenya dia pulang
memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib
dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apaapa
saja yang dia alami seharian.
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa
menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang bahkan dia
selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun,
dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan
ke empat buah hati mereka, sekarang anak-anak mereka sudah
dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.
Pada suatu hari ke empat anak Suyatno berkumpul dirumah
orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah
anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masingmasing
dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yg
merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yg cukup hati-hati anak yg sulung berkata “Pak
kami ingin sekali merawat ibu , semenjak kami kecil melihat
bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari
bibir bapak.........bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu” .
Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-katanya”
sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah
lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak
menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami
sudah tidak tega melihat bapak, kami janji kami akan merawat
ibu sebaik-baik secara bergantian”.
Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2
mereka.
“Anak-anakku ......... Jikalau perkawinan dan hidup didunia ini
hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah......tapi
ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah
lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian…sejenak
kerongkongannya tersekat,... kalian yg selalu kurindukan hadir
didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat
menghargai dengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah
dia menginginkan keadaanya seperti ini.
Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa
bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang,
kalian menginginkan bapak yg masih diberi Tuhan kesehatan
dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih
sakit.”
Sejenak meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno. Merekapun
melihat butiran2 kecil jatuh dipelupuk mata Ibu Suyatno..
dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.
Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun
TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun
mengajukan pertanyaan kepada Suyatno
kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg
sudah tidak bisa apa-apa.
disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di
studio. kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup
menahan haru
disitulah pak Suyatno bercerita;
***Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam
perkawinannya, tetapi tidak mau memberi ( memberi waktu,
tenaga, pikiran, perhatian ) adalah kesia-siaan.
Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan
sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai
saya dengan hati dan batinnya bukan dengan mata, dan dia
memberi saya 4 orang anak yg lucu-lucu. Sekarang dia sakit
karena berkorban untuk cinta kita bersama…dan itu merupakan
ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk
mencintainya apa adanya, sehatpun belum tentu saya mencari
penggantinya apalagi dia sakit ***

Sabtu, 29 Januari 2011

70 TAHUN BERDOA




Ada seorang kakek yang tinggal di India. Umurnya
sudah lebih dari 70 th. Sepanjang hidupnya selama
70 th itu, ia gunakan untuk menyembah berhala dari
batu. Setiap hari ia begitu taat menyembah tuhannya itu.
Suatu ketika, kakek ini punya suatu keinginan. Ia pun kemudian
mendatangi tuhannya seraya memohon agar doa‘nya dapat
dikabulkan.
“Oh, tuhanku Latta. Oh tuhanku Uzza. Tujuh puluh tahun aku terus
menerus menyembahmu. Selama itu, tak ada sesuatupun yang
aku mohonkan kepadamu. Sekarang, aku ada permohonan
kepadamu. Mohon, kabulkanlah permohonanku ini”.
Kakek itu memohon sambil merengek-rengek kepada Latta dan
Uzza kiranya doa‘nya dapat dikabulkan. Demikian seterusnya
dia lakukan. Setelah sampai tujuh puluh kali doa‘ itu ia panjatkan,
tak ada sedikitpun pengabulan dari berhala tuhannya yang ia
peroleh. Maka kakek itu sedih sekali dan akhirnya putus asa.
Dalam keputusasaannya itu, ternyata Allah SWT memberi
hidayah kepada kakek. Hati sang kakek dilapangkan oleh Allah,
dan sang kakek segera sadar akan kekeliruannya selama ini.
Gantilah kakek itu berdoa‘ kepada Allah SWT .
“ Ya Allah SWT, baru sekarang aku menghadap-Mu. Aku
memohon ssuatu kepada-Mu. Kabulkanlah, ya Allah SWT,
permohonanku ini “.
Selesai kakek itu bermunajat kepada Allah SWT, maka sesaat
kemudian ia mendengar jawban dari Allah SWT.
“ Wahai hamba-Ku, mintalah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan
memberimu “.
Waktu para malaikat mendengar jawaban yang diberikan Allah
SWT kepada sang kakek, maka gemparlah para malaikat.
“ Ya Allah SWT, tujuh puluh tahun lamanya orang itu musyrik
dan menyembah berhala. Dan telah tujuh puluh kali pula ia telah
memohon kepada berhalanya agar dikabulkan permohonannya,
namun itu tidak terjadi. Sekarang, ia baru sekali saja berdoa`
kepada-Mu, mengapa Engkau kabulkan permohonannya itu ?”
Mendengar pertanyaan para malaikat itu, maka Allah SWT
segera memberi penjelasan.
“ Wahai para malaikat, jika berhala yang benda mati itu tidak
bisa mengabulkan permohonannya dan Aku-pun juga tidak, lalu
dimana letak perbedaannya antara Aku dan berhala itu ?”

============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 2. Hal. 347-348. ISBN 978-6028-686-938.

Minggu, 23 Januari 2011

Cinta


BANGUNLAH, Cintaku. Bangun! Kerana jiwaku mengalu-alumu dari dasar laut,
dan menawarkan padamu sayap-sayap di atas gelombang yang mengamuk
Bangunlah, kerana sunyi telah menghentikan derap kaki kuda dan langkah para
pejalan kaki.
Rasa kantuk telah memeluk roh setiap laki-laki, sementara aku terbangun
sendiri, rasa rindu membukakan kertas surat tidurku.
Cinta membawaku dekat denganmu, namun kebimbangan melemparkan diriku
menjauh darimu.
Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah
nafasku meninggalkan tempat tidurku, Cintaku, kerana takut pada hantu lupa
yang berada di balik selimut. 
Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah
nafasku meninggalkan halaman buku yang kosong di depan mataku!
Bangun, bangunlah, Cintaku dan dengar diriku!
Aku mendengarkanmu, Cintaku! Aku mendengar panggilanmu dari lautan lepas
dan merasakan lembutnya sentuhan sayapmu. Aku telah jauh dari ranjangku,
beranjak ke tanah lapang, hingga embun membasahi kaki dan bajuku. Di sinilah
aku berdiri, dibawah bunga-bunga pohon badam, memenuhi panggilan jiwamu.
Bicaralah padaku, Cintaku, dan biarkan nafasmu menghirup angin gunung yang
datang padaku dari lembah-lembah Lebanon. Bicaralah. Tak ada yang akan
mendengar selain diriku. Malam telah melarutkan semua manusia ditempat
tidurnya.
Syurga telah menyulam  cahaya rembulan dan menghamparkannya ke seluruh
daratan Lebanon, Cintaku.
Syurga telah meriasnya dengan bayangan malam, jubah tebal membentang
dihembus asap dari cerobong kain, dihembus nafas kemari, dan mengelarnya
di telapak kota, Cintaku.
Para penduduk telah pulas menganyam mimpi di ubun-ubunnya di tengah
pohon-pohon kenari. Jiwa mereka mempercepatkan langkah mengejar negeri
mimpi, Cintaku.
Lelaki-lelaki longlai menggendong emas, dan tebing curam yang akan dilalui
melemaskan lutut mereka. Mata mereka mengantuk kerana dililit kesulitan
dan ketakutan. Mereka melemparkan tubuh ke tempat tidur sebagai tempat
berlindung dari hantu-hantu yang menakutkan dan mengerikan, Cintaku.
Hantu-hantu dari masa lalu berkeliaran di lembah-lembah. Jiwa para raja 
melintasi bukit-bukit. Fikiranku yang berhias kenangan menyingkap kekuatan
bangsa Chaldea, kemegahan Arab.
Di lorong-lorong gelap, jiwa-jiwa pencuri yang tegap berjalan, muncung-
muncung nafsu ular berbisa muncul dari celah-celah benteng, dan rasa sakit
berdengung kematian, muntah-muntah sepanjang jalan. Kenangan menyingkap
tabir kelupaan dari mataku dan nampaklah Sodom yang menjijikkan, serta
dosa-dosa Gomorah.
Ranting-ranting berayun-ayun, Cintaku, dan desirnya bertemu dengan alunan
anak sungai di lembah. Syair-syair Sulaiman, nada kecapi Daud dan lagu Ishak
Al-Mausaili terngiang-ngiang di telinga kami.
Jiwa anak-anak yang lapar di penginapan menggelupur, ibunya mengeluh di 
atas kamar kesedihan, dan kekecewaan telah jatuh dari langit. Mimpi-mimpi
kebimbangan melanda hati yang lemah. Aku mendengar rintihan pahitnya.
Semerbak bunga melambai seiring nafas pohon-pohon cedar. Terbawa angin
sepoi-sepoi menuju perbukitan, harum itu mengisi jiwa dengan kasih sayang
dan meniupkan kerinduan untuk terbang.
Tetapi racun dari rawa-rawa jug berkelana mengepul bersama penyakit.
Seperti panah rahsia yang tajam, racun itu telah menembusi perasaan dan
meracuni udara.

Tanpa kusedari matahari telah mengilaukan cahaya pagi, Cintaku, dan jari-jari
timur yang lentik menimang mata-mata orang yang terlelap. Cahaya itu
memaksa mereka untuk membuka daun jendela dan menyelak hati dan
kemenangan. Desa-desa, yang sedang tertidur dalam damai dan tenang di
pundak-pundak lembah, bangun, loceng-loceng berdenting memenuhi angkasa
sebagai panggilan untuk mula berdoa. Dan dari gua-gua, gema-gema juga
berdengung, seolah-olah seluruh alam sedang berdoa bersama-sama dengan
khusyuknya. Anak-anak sapi telah keluar dari kandangnya, biri-biri dan
kambing meninggalkan bangsalnya untuk menuai rumput yang berembun dan
berkilatan cahaya. Penggembalanya mengikuti dari belakang sambil
mengamatinya di balik lelalang. Di belakangnya lagi gadis-gadis bernyanyi
seperti burung menyambut pagi.

Kini tangan siang hari yang perkasa terbaring di atas kota. Tirai telah diselak
dari jendela dan pintu pun terbuka. Mata yang penat dan wajah lesu para
penjahit telah siap di tempat kerjanya. Mereka merasakan kematian telah
melanggar batas kehidupan mereka, dan riak muka yang layu mempamerkan
ketakutan dan kekecewaan. Di jalanan padat dengan jiwa-jiwa yang tamak dan
tergesa-gesa, dan di mana-mana terdengar desingan besi, pusingan roda dan
siulan angin. Kota telah menjadi arena pertempuran di mana yang kuat
menindas yang lemah dan si kaya mengeksploitasi dan menguasai si miskin.

Betapa indah hidup ini, Cintaku, seperti hati penyair yang penuh dengan
cahaya dan kelembutan hati.
Dan betapa kerasnya hidup ini, Cintaku, seperti dada penjahat, yang
berdebar-debar kerana selalu merasa bimbang dan takut.

 Khalil Gibran

Rabu, 19 Januari 2011

KERJA ADALAH SEBUAH KEHORMATAN



Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju
restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang
telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah
seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda
tersebut, “Pak mau beli kue, Pak?”
Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab “Tidak,
saya sedang makan”. Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa
dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda
itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab: “Tidak Dik saya
sudah kenyang”.
Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari
warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan
usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan
bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir “Saya coba lagi tawarkan
kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh
buat orang di rumah”. Ini adalah sebuah usaha yang gigih
membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba
pas-pasan ini.
Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak
kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan. “Pak
mau beli kue saya?”, pemuda yang ditawarkan jadi risih juga
untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang
Rp 2000,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.
“Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap
saja ini sedekahan dari saya buat adik”.
Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan
kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi
jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan
kepada orang lain. “Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa
tidak kamu ambil?. Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu
menjawab, “Saya sudah berjanji sama ibu di rumah, ingin
menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan
bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu
terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha
kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis”.
Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan
anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran
seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa “kerja itu
adalah sebuah kehormatan”, kalau dia tidak sukses bekerja
menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan ibunya
mempunyai nilai yang kurang. Suatu pantangan bagi ibunya,
bila anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang ke
rumah melihat ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan
senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik
dan menghasilkan uang.
Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan
lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi
karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu “kerja adalah
sebuah kehormatan”, ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah
bekerja dengan baik.
Makna yang bisa diambil:
Kerja bukanlah masalah uang semata, namun lebih mendalam
mempunyai sesuatu arti bagi hidup kita. Kadang mata kita
menjadi “hijau” melihat uang, sampai akhirnya melupakan apa
arti pentingnya kebanggaan profesi yg kita miliki.
Bukan masalah tinggi rendah atau besar kecilnya suatu profesi,
namun yang lebih penting adalah etos kerja, dalam arti
penghargaan terhadap apa yang kita kerjakan. Sekecil apapun
yang kita kerjakan, sejauh itu memberikan rasa bangga di dalam
diri, maka itu akan memberikan arti besar.