Indahnya Sastra

Kamis, 10 Maret 2011

APA YANG KITA SOMBONGKAN


Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru
tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang
sibuk bekerja, ia mengangkuti air dengan ember dan
...menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran
deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya,
“Apa yang sedang Anda lakukan?”
Sang Guru menjawab,
“Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta
nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi
mereka. Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka
pulang tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat.
Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu, saya
melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita
semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita
sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor
materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih
terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan.
Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan
dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan.
Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih
pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin
sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat
mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi
sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali
hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada
tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk
harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence).
Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan
(pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan.
Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.
Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub
dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia,
kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan
tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai
keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup.
Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan
lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub
ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada
dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem
tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.
Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan
menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan
dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang
perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada
hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual.
Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik
hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan
kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.
Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua
makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi
terkelabui oleh penampilan, label, dan segala “tampak luar”
lainnya. Yang kini kita lihat adalah “tampak dalam”. Pandangan
seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai
kesombongan atau ilusi ego.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik
yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi
diri kita sendiri. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain
adalah juga demi kita sendiri.
Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang
kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu
akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan
yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk
persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin
yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain,
kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri.
Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?

============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 2. Hal. 375-377. ISBN 978-6028-686-938.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar